Senin, 02 Agustus 2010

Dampak Epidemi ganda AIDS dan Narkoba pada Anak Indonesia

Busung lapaaaar! “Menko Kesra kunjungi pasien busung lapar” – semua hiruk pikuk. Ternyata? Yang disangka busung lapar adalah anak balita dengan AIDS – kedua orang tuanya adalah ODHA (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) dan bayinya ketularan virus HIV dari orang tua melalui kandungan dan air susu ibunya.

Nopember 2004: pertemuan dengan Ibu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Saya mengajak seorang remaja puteri, umur 17 tahun, dia menikah dengan pacarnya seorang mantan pecandu narkoba suntik berusia 21 tahun. Kini, 1 tahun kemudian, dia sudah janda, suaminya meninggal karena AIDS, dia sendiri juga HIV positif. Bayinya masih terlalu dini untuk diketahui apakah virus itu ada dalam tubuhnya atau tidak, tetapi ibu ODHA remaja ini, terus hidup dalam kekhawatiran, bagaimana kalau bayinya ternyata positif? Bagaimana masa depannya?

September 2005: Pertemuan tertutup ODHA disuatu kota. Saya tertegun: diantara 15 ODHA yang menghadiri pertemuan, 7 orang adalah ODHA perempuan , 5 ketularan dari suami atau pacarnya, 2 orang dari pelanggannya. Dari antara mereka, 2 orang telah melahirkan bayi, yang belum jelas status HIV-nya.

Melihat tiga kejadian di atas saya bertanya pada diri sendiri: ada apa dengan HIV/AIDS di Indonesia? Apakah sudah masuk dalam keluarga dan masyarakat umum? Mengapa Pemerintah termasuk DPR/DPRD ayem2 saja? Apakah ada yang peduli?

Grafik 1 : Data kumulatif AIDS di Indonesia 1987 s/d 30 Juni 2005

1

I. Situasi Epidemi Ganda AIDS dan Narkoba di Indonesia
Bagaimana sebenarnya situasi HIV/AIDS di Indonesia sekarang? Mengapa kita selalu menyebut epidemi ganda AIDS dan Narkoba dalam satu nafas?
Grafik 1 menunjukkan perkembangan epidemi AIDS di Indonesia. Dari tahun 1987 sampai tahun 2000, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan meningkat secara per-lahan2, sebagian besar penularan melalui hubungan seksual yang berisiko (= ganti2 pasangan seksual, tanpa memakai kondom). Sejak tahun 2001, jumlah kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan mulai meningkat dengan cepat, cara penularannya tidah hanya seksual, tetapi juga melalui narkoba suntik, dari Ibu ke Bayi, dan transfusi darah.
Sampai dengan 30 Juni 2005, dilaporkan 7098 kasus HIV/AIDS. Yang sudah dalam stadium AIDS berjumlah 3740 orang (berarti mereka sudah membutuhkan pengobatan/ perawatan dan kemungkinan secara sadar ataupun tidak, sudah menularkan virus HIV selama bertahun-tahun). Semua provinsi sudah melaporkan adanya HIV/AIDS maupun Narkoba. 10 tahun yl > 90% penularan melalui hubungan seksual, pada tahun 2005 yang paling dominan (46,5 %) adalah penularan melalui narkoba suntik, melampaui penularan melalui hubungan seksual (hetero + homo seksual 42,4 %). Anak yang menderita AIDS berusia peningkatan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan anak, serta peningkatan jumlah anak yatim piatu karena kematian salah satu atau ke-2 orang tuanya.
“Keistimewaan” HIV/AIDS adalah: bila sepasang suami isteri sudah terlanjur ketularan virus HIV (seringkali tanpa diketahuinya) , maka setiap kali mereka melakukan hubungan suami isteri tanpa memakai kondom maka mereka saling ”menyumbang” virus, dengan akibat jumlah virus dalam tubuh keduanya akan bertambah. Karena itu, kemungkinan lebih besar anak2 mereka akan mengalami kematian kedua orang tuanya.
Dari data2 beberapa provinsi seperti Papua, Kepri, Jawa Barat dll, tampak bahwa jumlah Ibu2 rumah tangga yang ketularan dari suaminya makin meningkat. Ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS tidak lagi jadi milik mereka yang ”berperilaku risiko tinggi”, tetapi sudah masuk dalam keluarga dan masyarakat yang tidak berdosa.

II. Anak sebagai ODHA:
Penularan HIV pada anak terjadi oleh berbagai sebab:
Usia 0-5 tahun: HIV/AIDS pada anak Balita biasanya terjadi karena menularnya virus dari orang tuanya melalui Ibunya. Penularan bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau melalui asi – seringkali tanpa diketahui orang tuanya. Di Indonesia, seringkali anak balita yang terinfeksi HIV meninggal sebelum usia 5 tahun. Di dunia, setiap tahun + 500.000 orang anak meninggal karena AIDS (Unicef)

Usia 5-12 tahun: (TK-SD): HIV/AIDS dalam kurun usia ini dapat disebabkan karena: a) penularan perinatal yang ringan dan mendapat layanan kesehatan yang optimal, atau b) infeksi melalui darah transfusi yang tercemar dan c) karena kekerasan & eksploitasi seksual oleh pedofil (yaitu lelaki yang suka hubungan seks/ memperkosa anak kecil). Korban pedofil bisa anak perempuan maupun anak laki2 (sodomi). Selain pada umumnya umur pendek, anak2 ini juga mengalami penderitaan fisik, mental dan sosial, karena mereka sudah merasakan perlakuan diskriminatif dengan stigma yang kejam oleh keluarga dan masyarakat yang kurang pengetahuan tentang HIV/AIDS. Di Afrika puluhan ribu anak2 terpaksa menjadi kepala keluarga, pada usia yang sangat muda mereka harus mencari nafkah untuk menanggung hidup diri dan saudara2nya. Banyak diantaranya terpaksa jadi anak jalanan yang berusaha hidup dengan mengemis, atau melakukan pekerjaan yang membahayakan hidupnya, bahkan tidak jarang dengan melakukan tindak kriminal seperti mencuri, terlibat dalam perdagangan narkoba dll.
Penderitaan yang luar biasa dialami anak usia ini yang mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual dari “orang2 dekat”: ayah, ayah tiri, paman, guru dll. Dampaknya akan menghantui anak ini seumur hidupnya.

Usia 12-18 tahun: (remaja) penularan seksual pada usia ini terjadi karena seks suka sama suka, seks “iseng” atau coba2, oleh kekerasan atau eksploitasi seksual. Penularan non seksual terjadi karena pemakaian napza/narkoba suntik (IDU) maupun transfusi darah yang tercemar. Pada saat ini, sekitar 50% remaja yang HIV/AIDS ketularan melalui narkoba suntik, tetapi dikhawatirkan, bahwa angka ini akan makin meningkat dengan cepat, disebabkan upaya pencegahan yang sangat tidak memadai, sedangkan bagi remaja yang terlanjur menjadi pecandu, hampir tidak tersedia pelayanan untuk pengobatannya.

Apa yang dapat kita lakukan?
a. Upaya pencegahan:
Penularan perinatal: pencegahan penularan HIV dari Ibu ke bayinya dilakukan melalui 3 cara yang saling terkait: a) pencegahan penularan HIV pada setiap CALON orang tua, laki2 maupun perempuan dari usia yang sedini mungkin bahkan sebelum mereka aktif secara seksual, b) pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada Wanita HIV+, dan c) bila Ibu ODHA sudah terlanjur hamil: konseling, pemberian ARV serta penata laksanaan kehamilan, persalinan serta opsi pemberian asi yang paling banyak mengurangi risiko penularan dan sesuai dengan keluarga ybs. Penelitian2 di beberapa negara menunjukkan, bahwa akses ARV dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayinya (Prevention of Mother to Child Transmission = PMTCT) dapat menurunkan resiko penularan Ibu kepada bayinya sampai 35-50%.
Penularan karena eksploitasi dan kekerasan seksual: upaya pencegahan harus dilakukan dengan sungguh2, dengan menggerakkan partisipasi masyarakat untuk “zeo tolerance” terhadap pedofilia tersebut, dengan hukuman yang setinggi-tingginya terhadap pelaku. Penelitian juga menunjukkan, bahwa hukuman harus disertai konseling bahkan pengobatan psikososial untuk pelaku kejahatan tsb. untuk mencegah pengulangan perilakunya setelah keluar dari penjara.
Penularan melalui jarum suntik: pengamanan transfusi darah, penertiban mantri2 liar, terutama di daerah2 dengan prevalensi tinggi, dan khusus untuk para remaja penyalah guna narkoba suntik (IDU): supply, demand dan harm reduction yang efektif. Setiap anak/ remaja yang terlanjur jadi penyalah guna narkoba suntik, seyogyanya diberikan pelayanan/ kesempatan guna mencegah penularan HIV melalui program “Pengurangan Dampak Buruk atau Harm Reduction”
Ini semua mudah diucapkan, kita tahu apa yang harus dilakukan, kita ada contoh2 keberhasilan dari negara2 lain, tetapi upaya pencegahan di Indonesia mengalami banyak sekali tantangan, kendala dan hambatan, termasuk tantangan dari para anggota DPR/ DPRD yang kurang pengetahuannya tentang HIV/AIDS dan Narkoba, serta dampaknya pada anak dan remaja kita.

b. Pemeriksaan anak untuk mengetahui status HIVnya
Sama dengan orang dewasa, diagnosa hanya dapat dipastikan dengan pemeriksaan darah (testing) yaitu dengan menemukan antibodi atau virus HIV dalam darahnya. Tetapi, saat ini testing sederhana dengan pemeriksaan antibodi, dapat memastikan apakah bayi terinfeksi HIV baru pada usia 18 bulan. Pada usia yang lebih muda, masih ada kemungkinan antibodi tersebut berasal dari ibunya. Disamping itu, petugas kesehatan dapat menduga adanya HIV/AIDS, bila ada gejala2 klinis seperti al: berat badan anak tidak/ sulit naik (”failure to thrive”) bahkan menurun, daya tahan tubuhnya sangat rendah sehingga anak sering sakit: diare, batuk pilek, jamur di mulut dll – yang biasanya tidak atau sulit disembuhkan dengan obat2 ”biasa”.

c. Perawatan, pengobatan dan dukungan.
Sama dengan orang dewasa, pengetahuan kita tentang perawatan dan pengobatan bagi anak dengan HIV/AIDS termasuk pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) sudah banyak kemajuan. Dengan perawatan dan pengobatan yang baik, disertai dengan dukungan psikososial yang memadai, seorang anak/ remaja bisa tumbuh dan berkembang dengan cukup baik. Beberapa persoalan yang menyangkut perawatan, pengobatan dan dukungan untuk anak/ remaja dengan HIV/AIDS al adalah:

  • sebagian besar dokter anak dan petugas kesehatan di Indonesia, belum pernah dilatih untuk mengenal dan mengobati anak dengan HIV/AIDS, sehingga biasanya anak dengan AIDS umurya tidak panjang, dan anak meninggal karena tidak mendapat pengobatan yang benar.
  • petunjuk pengobatan secara nasional untuk pengobatan & penatalaksanaan HIV/AIDS, infeksi oportunistik dll pada anak belum ada dalam bahasa Indonesia
  • Sebagian besar pabrik obat belum memproduksi obat2 yang dibutuhkan (terutama anti retroviral) dalam bentuk dan dosis yang cocok untuk anak.
  • HIV/AIDS pada anak remaja, seringkali disebabkan karena narkoba suntik, dan biasanya HIV/AIDS disertai oleh penyakit2 lain seperti hepatitis B hepatitis C, TBC, dll. Karena itu, pengobatannyapun lebih rumit, dan sedikit sekali dokter/ petugas kesehatan di Indonesia yang telah terlatih.

II. Anak yatim piatu karena AIDS:
Jumlah yang besar kematian orang dewasa muda dan usia menengah, mengakibatkan peningkatan jumlah anak yatim dan yatim piatu yang sangat besar. Sayang sekali di Indonesia, kita belum mempunyai data seperti ini, sehingga sulit untuk menyusun strategi yang memadai SEKARANG untuk mencegah penderitaan lahir batin maupun ”cost” sosial and ekonomis yang akan dipikul oleh anak, masyarakat dan Negara.
Penderitaan anak2 ini sebenarnya sudah mulai sebelum orang tuanya meninggal, karena mereka menyaksikan al penderitaan dan biaya yang besar karena orang tua sakit (biasanya mulai dari ayah atau ibu, kemudian kedua orang tua) dan meninggal secara berurutan. Mereka juga akan menderita karena menyaksikan percekcokan dan saling menyalahkan antara orang tua, stigma dan diskriminasi dari anggota keluarga yang lain, tetangga, masyarakat sekitarnya, disekolah dll. Karena itu, pelayanan dan dukungan untuk pemberdayaan anak2 ini sudah harus dimulai ketika orang tuanya masih hidup.
Pemberian ARV pada orang tua ODHA secara dramatis menunjukkan penurunan jumlah anak yatim piatu dan dengan demikian menurunkan social and economic cost untuk masyarakat dan negara.

III. Apa yang dapat dilakukan oleh Anggota DPR RI / DPRD?
Saya bagi peran ini dalam 2 bagian: 1) berkaitan dengan tugas Anggota Parlemen dan DPRD dalam bidang a) Penyusunan Peraturan Perundangan, b) bidang Anggaran dan c) Pengawasan. Dan 2) anggota Parlemen/ DPRD sebagai tokoh masyarakat (toma), tokoh adat (toda) maupun tokoh agama (toga) dalam masyarakat lingkungannya.

Tugas Anggota Parlemen dan DPRD
Peraturan Perundangan: Komisi Penanggulangan AIDS (KPA Nasional) bekerja sama dengan Forum Parlemen (IFPPD) selam 2 tahun telah melakukan kajian terhadap berbagai peraturan perundangan yang berdampak pada upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. 4 Undang-undang diharapkan akan direvisi dalam waktu dekat, yaitu UU no 4/1984 tentang Wabah penyakit menular, UU 23/1992 tentang Kesehatan, UU 5/1997 tentang Psikotropika, dan UU 22/1997 tentang Narkotika. Sangat diharapkan UU tersebut dapat mengatasi sebagian hambatan terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS di tanah air. Disamping itu, sangat dirasakan pentingnya suatu dasar hukum bagi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dari tingkat Nasional, Prov, Kabupaten dan Kota untuk menggantikan Kep Pres no 36/1994, agar lembaga ini dapat memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cepat, tepat dan efektif.
Disamping harapan terhadap DPR RI, juga ada kebutuhan yang sangat besar agar di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota upaya penanggulangan HIV/AIDS dapat berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana disepakati dalam Komitmen Sentani, yaitu kesepakatan bersama antara pemerintah tingkat Nasional dan Provinsi serta DPR RI Komisi IX. Namun, hampir 2 tahun Komitmen Sentani (ditanda tangani tanggal 19 Januari 2004), baru 1 Provinsi (Jawa Timur), dan 2 kabupaten (Merauke dan Jayapura) yang telah berhasil menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Di daerah2 yang lain prosesnya sangat lambat dan banyak sekali tantangan terutama menyangkut pemakaian kondom 100% pada setiap perilaku seksual risiko tinggi. Banyak anggota Dewan yang tidak menyadari, bahwa mewajibkan setiap lelaki yang membeli seks untuk memakai kondom, justeru untuk melindungi kesehatan keluarga dan masyarakat.
Sebenarnya, UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak cukup banyak memuat pasal2 yang bila dilaksanakan secara konsekuen, bisa membantu melindungi anak dari dampak epidemi HIV/AIDS dan narkoba, namun sangat disayangkan, bahwa UU ini agaknya kurang sekali disosialisasikan ke daerah2 apalagi disertai penegakan hukum secara konsekuen!

Anggaran. Mungkin karena kekurangan pengetahuan para anggota Dewan maupun pihak Eksekutif tentang dampak epidemi AIDS & narkoba terhadap pembangunan SDM, ekonomi maupun sosial politik, serta tidak adanya landasan hukum yang lebih tegas untuk KPA dan seluruh upaya penanggulangan HIV/AIDS, maka anggaran di semua tingkat pemerintahan sangat tidak memadai. Ini jelas merupakan kendala yang amat besar bagi upaya penanggulangan AIDS dan Narkoba, yang mengakibatkan makin meningkatnya jumlah orang termasuk anak2 yang terinfeksi.

Pengawasan. Di DPR RI sudah makin banyak anggota Dewan yang menanyakan tentang HIV/AIDS kepada pemerintah, terutama Menteri Kesehatan. Namun, tidak pernah kita dengar anggota Dewan meminta keterangan kepada menteri2 lain yang merupakan anggota Komisi Penanggulangan AIDS sesuai KepPres 36/1994. Di daerah apalagi. Sungguh sedikit anggota DPRD di Prov/Kabupaten/Kota yang menanyakan apa upaya pemerintah untuk perlindungan anak, keluarga dan masyarakat terhadap HIV/AIDS dan narkoba?

Anggota DPR RI/DPRD sebagai pribadi
Anggota Dewan pastilah juga merupakan tokoh2 masyarakat, adat ataupun agama, yang dipilih oleh rakyat konstituennya. Oleh karena itu, sungguh banyak yang dapat dilakukan olehnya untuk menyelamatkan jiwa anak2 kita al advokasi kepada berbagai pihak, agar pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba dijadikan prioritas nasional, maupun daerah. Angg. Dewan dapat menggerakkan masyarakat, agar meningkatkan ”perang” terhadap para pengedar narkoba dan penjual VCD dan tayangan porno, agar anak remaja laki2 dan perempuan menunda hubungan seks sampai sudah menikah. Dan gerakkan khusus lelaki yang suka ”membeli seks” agar bertanggung jawab untuk tidak menularkan HIV kepada isteri dan anaknya. Kewajiban memakai kondom 100% di tempat2 pelacuran adalah untuk melindungi kesehatan keluarga, termasuk bayi2 yang tak berdosa. Jalan yang lebih baik adalah berhenti berperilaku risiko tinggi dengan berganti2 pasangan seksual tanpa memakai kondom.
Angg. Dewan juga dapat mengusahakan lingkungan yang kondusif untuk ODHA termasuk anak – untuk mencegah dan menghilangkan stigma & diskriminasi, serta menjamin kebutuhan fisik dan emosional anak2 kita.

Kesimpulan:
Dampak negatif epidemi HIV/AIDS pada anak BISA dan HARUS dicegah mulai SEKARANG. Anggota DPR RI/ DPRD memegang peranan yang sangat penting sebagai Pemimpin dan tokoh masyarakat, maupun sebagai anggauta Dewan yang melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bidang Peraturan Perundangan, Panganggaran dan Pengawasan.

Semoga kita mampu melindungi anak2 dan remaja kita terhadap dampak negatif epidemi ganda AIDS dan Narkoba di tanah air tercinta. Amin.

Dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH adalah dokter anak pemerhati AIDS, mantan anggota DPR RI, mantan Director, Gender and Women’s Health, WHO Geneva dan Ketua UN Committee on the Rights of the Child, Geneva

Tidak ada komentar:

Posting Komentar